Minggu, 20 Desember 2009

Tan Malaka


Nama Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka kembali mencuat, kali ini karena tersiar kabar kejelasan kematiannya karena ditembak mati di Desa Selo Panggung di kaki Gunung Wilis di Jateng atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya, 21 Februari 1949.
Menurut sejarawan Belanda sekaligus Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) Harry A. Poeze eksekusi itu berdasarkan surat perintah Pangdam Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade Soerahmat untuk menjaga stabilitas Indonesia yang dicabik-cabik Agresi Militer II Belanda tahun 1949.
“Keputusan Malaka ikut berjuang di pedalaman bersama Batalion Sabarudin (Brawijaya) adalah langkah salah. Dia [Sabarudin] dikenal psikopat,” ujar Poeze dalam peluncuran tiga jilid buku Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945 – 1949 (Dihujat dan Dilupakan, Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945 – 1949), di Gedung Juang awal pekan ini.
Saat itu Dwi Tunggal Indonesia, Soekarno-Hatta ditahan Belanda di Bangka sementara Panglima Besar Sudirman bergerilya melakukan perlawanan semesta, berpindah-pindah hingga Belanda dipukul mundur dan memilih sepakat dalam Konfrensi Meja Bundar.
Poeze dalam menambah deretan sejarawan asing yang memberi wacana baru bagi beberapa tokoh besar Tanah Air.
Sebetulnya fakta Malaka digilas konflik ideologi bagi sebagian orang bukan kabar baru. Sebelumnya hal ini sudah disebut dalam biografi Iwa Kusuma Sumantri yang tertunda-tunda peluncurannya selama dua dekade.
Iwa menyebut Malaka dieksekusi karena membawa mandat dari Sukarno untuk menjadi pemimpin Indonesia jika Dwi Tunggal berhalangan atau tertangkap di masa revolusi.
Profil Tan Malaka memang menarik, perannya yang besar bagi revolusi kemerdekaan begitu abu-abu karena idologinya sehingga sulit ditempatkan pada sisi mana.
Lahir dan dibesarkan sebagai Islam, dalam pekembangnya, Malaka adalah guru komunis nomor wahid internasional. Meski demikian pria asal Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumbar, 2 Juni 1897 itu justru seringkali bentrok dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selama hidupnya, dia tak pernah menikah. Menurut kesaksian perempuan yang dijodohkan padanya, Paramitha Abdulrachman, Malaka seorang homoseksual.
Perjuangannya konsisten di jalur intelektual dan mengangkat senjata. Sedikit banyak mirip Che Guevara. Malaka kukuh mengkritik tirani, baik kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan Soekarno.
Sebagai pembangkang, hidupnya habis di penjara dan pembuangan di dalam dan luar Indonesia. Hal yang membuatnya mumpuni membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara yang dirintis Ketua Umum pertama PKI Semaun.
Meski memimpikan Indonesia merdeka lewat Naar Repoebliek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya tahun 1924 di Kanton, China, Malaka justru menentang gerakan revolusi PKI tahun 1926.
Malaka juga lebih suka bergerak dalam bayangan, meski menggerakkan arus perjuangan dia justru tak bisa hadir dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Poeze bahkan berhasil mendapatkan foto Soekarno berdampingan dengan Malaka dalam panasnya Rapat Ikada.
Belakangan Sukarno meminta seniornya itu untuk siap menggantikannya jika dia berhalangan. Menurut Sejarawan Asvi Warman Adam, Poeze mendapatkan selain Malaka dan Iwa terdapat nama Syahrir dan Wongsonegoro dalam mandataris pengganti Soekarno yang telah disetujui Hatta.
Nama Malaka kembali heboh usai kudeta militer 3 Juli 1946 Jenderal Mayor Soedarsono yang gagal. Peristiwa itu membuat Hatta menjebloskan Malaka beserta para pemimpin aliran Marxisme-Leninisme ke penjara Wirogunan Yogyakarta.
Dalam pencajara dia tetap menggalang massa. Simpatisannya di tingkat elite cukup banyak mulai dari pemimpin Barisan Banteng Dr. Muwardi (Islam), Urip Sumoharjo (Katolik), Gatot Subroto (Budha) hingga Panglima Besar Sudirman (Islam).
Kedekatan Sudirman pada tokoh Sosialis itu pernah dikupas SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI dalam “Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman” yang dirilis 1984 lalu dicekal Kejagung 28 Agustus 1984 lewat fatwa No 167/JA/8/1984.
Pasca persetujuan Renville yang amat merugikan Indonesia, Malaka membentuk GRR (Gerakan Revolusi Rakyat) di bawah pimpinan dirinya dan Rustam Effendi pada 6 Juni 1948.
Organisasi itu didirikan untuk mengimbangi kekuatan kelompok Marxisme-Liberalisme moderat di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin dan Sjahrir yang menguasai pemerintah saat itu.
Setelah itu politik Tanah Air berkutat pada pertarungan perebutan puncak kekuasaan yang memanas usai kebijakan “Rasionalisasi angkatan Perang”, ide Urip Sumoharjo yang disetujui Hatta untuk menjinakan laskar-laskar bersenjata di wilayah RI saat itu.
Bayangkan betapa sesaknya Solo dan Yogya saat itu 400.000 laskar bersenjata tanpa kedisiplinan militer ditambah tentara Divisi Siliwangi-bersama keluarganya–yang terusir dari wilayah Jabar harus istirahat dari perang dan dalam kondisi ekonomi yang tak menentu. Dari jumlah itu, milisi bersenjata diciutkan tinggal 57.000 saja.
Puncak gesekan terjadi pada September 1948, Front Demokrasi Rakyat (FDR)/PKI berdiri di balik pemogokan di Delanggu dan kekacauan setelah Pekan Olah raga Nasional I di Solo, 12 September 1948.
Tarik menarik kepentingan, culik menculik dan bunuh membunuh kecil-kecilan kedua kubu berujung pada pertempuran besar 13 September 1948 antara FDR-PKI yang mengorganisir Divisi Panembahan Senopati melawan kekuatan pemerintah Barisan Banteng, Hisbullah, ALRI dan Divisi Siliwangi.
Baku tembak berakhir dua hari dengan gencatan senjata yang disaksikan Panglima Besar Jenderal Sudirman, petinggi-petinggi militer RI termasuk Residen Sudiro.
Kondisi ini membuat Hatta membutuhkan dukungan, lalu atas saran Sudirman membebaskan Malaka 16 September. Dua hari berselang justru pecah Madiun Affair.
Uniknya pada proklamasi Negara Republik Komunis Indonesia, 18 September para pemimpin puncak PKI termasuk Muso justru masih berada di luar kota.
Namun penyelidikan peristiwa ini tak berujung, Indonesia yang lemah lunglai dibokong Belanda yang menggelar agresi militer II, 19 Desember 1948. Sukarno-Hatta menyerah di Yogyakarta, lupa janjinya akan ikut bergerilya melakukan perlawanan semesta.
Malaka dan Sudirman yang akrab di Persatuan Perjuangan kembali ke pedalaman. Tiga bulan berselang, Malaka tewas misterius menyusul nasib tangan kanannya, Muwardi yang hilang misterius diculik komunis pada September 1948 di Jebres, Solo.
Selama Orde Baru berkibar, Tan Malaka yang ditetapkan sebagai Pahlawan kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno 28 Maret 1963, bersama Semaun sempat hilang dalam buku pelajaran sejarah. Uniknya namanya hilang sejak tahun 1959 sampai 1999.

Tidak ada komentar: